Langsung ke konten utama

Kebijakan, Hukum dan Regulasi di Bidang Digitalisasi Penyiaran Televisi dan Radio


  1. Kondisi Objektif Kebijakan Penyiaran
Pada rangka migrasi dari sistem siaran analog ke digital, pemerintah telah melakukan serangkaian studi dan mengeluarkan berbagai kebijakan terutama melalui peraturan menteri. Tetapi, di antara peraturan menteri yang ada, secara substansial mempunyai implikasi serius yaitu Peraturan Menteri No.22 tahun 2011. Permen ini telah mendapatkan perhatian atau menjadi fokus kajian karena implikasinya secara langsung dan cukup serius bagi penyelenggaraan penyiaran televisi digital di Indonesia. Bahkan, untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang penyiaran sehingga memunculkan adana dualitas regulasi yaitu regulasi penyiaran analog sebagaimana diatur dalam undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002 dan penyiaran digital melalui permen ini. Pada tata urutan perundangan di Indonesia, Permen biasanya merupakan petunjuk teknis atau menjadi peraturan pelaksana atas peraturan undang-undang diatasnya. Namun yang telah terjadi pada Permen No.22 tidaklah demikian, ia telah merepresentasikan diri menjadi suatu bentuk “peraturan baru” dalam penyelenggaraan digitalisasi penyiaran televisi di Indonesia dan inilah yang membuat Permen menjadi kontroversial.
Persoalan digitalisasi penyiaran merupakan persoalan yang kompleks sehingga melibatkan perdebatan publik dan parlemen sebagai representasi rakyat yang menjadi pemilik sah frekuensi, seperti yang dikemukakan oleh Alwi Dahlan dalam artikel yang dipublikasikan di Harian Kompas, 10 Mei 2012 yaitu “Bagaimanapun spektrum adalah sumber alam milik bersama, termasuk Anda dan rakyat daerah Anda. Seperti di semua negara demokratis, termasuk Amerika Serikat yang sangat kapitalis pun, spektrum hanya dipinjamkan kepada pemakaiannya dengan aturan yang ketat yang harus ditegakkan negara. Oleh karena itu, pengaturan frekuensi semacam itu harusnya melibatkan perdebatan publik dan parlemen. Selain itu, kebijakan digitalisasi televisi akan mempunyai implikasi ekonomi politik dan sosial budaya yang serius seperti :
1. Digitalisasi penyiaran memang memberikan efisiensi dalam penggunaan frekuensi sehingga satu frekuensi yang biasanya hanya bisa digunakan untuk satu siaran analog bisa dilipat gandakan menjadi untuk teknologi sekarang dengan 12 saluran program siaran. Melalui sudut pandang ekonomi politik, jumlah tidak berpengaruh secara signifikan bagi demokratisasi keberagaman isi siaran dan opini jika hanya dikuasai oleh beberapa orang.
2. Media telah menjadi institusi penting dalam masyarakat modern. Ia mempunyai peran penting dalam mengkonstruksikan realitas politik dan juga sebagai sumber-sumber pengkonstruksian kebudayaan dan nilai, serta menjadi sumber ekonomi penting karena sifatnya langka, sehingga siapa yang menguasai spektrum frekuensi akan mempunyai keuntungan ekonomi yang besar.
Permen No.22 ; Simbiosis Otoritarianisme Politik dan Modal :
1. Tinjauan Umum
Permen no 22 terdiri dari sembilan bab dan 22 pasal. Beberapa pokok yang diatur dalam Permen ini adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan Penyiaran
Pada permen ini, lembaga penyelenggara penyiaran terdiri dari dua yaitu Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran atau disingkat LPPPS dan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing atau disingkat LPPPM. Kedua penyelenggara penyiaran ini diatur dalam Bab III Pasal 3 Pasal 7.
b. Pembagian Wilayah dan Zona Layanan
Wilayah layanan (Pasal 8 ayat 1) adalah wilayah penyelenggaraan program siaran, sedangkan zona layanan adalah wilayah penyelenggaraan penyiaran multipleksing.
c. Perizinan
Perizinan (LPPPS) dan penetapan (LPPPM) semuanya dari menteri.
d. Industri atau Komponen dalam Negeri
Pasal 12 menyebutkan bahwa set-top-box harus mengandung komponen dalam negeri sekurangnya 20% dan ditingkatkan secara bertahap menjadi 50% dalam waktu 5 tahun ke depan.
e. Pelaksanaan Penyiaran Digital
Pada pasal 14 disebutkan bahwa penyelenggaraan penyiaran digital akan dimulai sekurangnya tahun 2012. Kemudian, untuk transisi akan dilakukan penyiaran secara Simulcast.
f. Evaluasi dan Pengawasan Penyelenggaraan Penyiaran Digital
Pada pasal 19 menyebutkan bahwa menteri yang melakukan pengawasan atas seluruh penyelenggaraan penyiaran digital terestrial tidak berbayar. Pasal 19 ayat 2 menyebutkan bahwa  dalam rangka pengawasan itu maka menteri akan membentuk tim.
g. Sanksi-sanksi

2. Paradigma Permen ; Simbiosis Otoritarianisme Politik dan Kapital
Melihat apakah digitalisasi penyiaran versi peraturan menteri ini demokratis atau otoriter, akan digunakan tiga indikator, yaitu Pertama,  terhadap kanal atau saluran siaran digital harus tersedia secara adil kepada semua orang. Beberapa negara, ketersediaan frekuensi dipublikasikan secara luas sehingga  masyarakat yang berminat mengajukan izin penyelenggaraan penyiaran bisa mendaftar. Kedua, adanya keseimbangan antara lembaga penyiaran publik atau komunitas dan swasta. Bisnis penyiaran merupakan bisnis yang unik, tidak sama dengan model bisnis yang lain. Ia menggunakan public domain, menggunakan frekuensi terbatas dan mempunyai fungsi utama melayani sistem politik demokrasi di samping melayani sistem ekonomi. Selain dilindungi oleh undang-undang kebebasan berusaha lembaga siaran juga dilindungi oleh prinsip universal hak asasi manusia yang terangkum dalam freedom of the press dan freedom of expression. Maka, sebagaimana media lainnya, lembaga penyiaran dalam sistem demokrasi tidak akan dibredel tanpa alasan kuat yang didasari oleh kepentingan publik. Kemudian agar sistem penyiaran bisa melayani sistem politik demokrasi dengan baik maka perlu ada keseimbangan antara lembaga penyiaran swasta dan publik karena kedua jenis penyiaran ini mempunyai misi yang berbeda. Lembaga publik didirikan untuk melayani publik tanpa berpretensi mencari keuntungan, sedangkan lembaga penyiaran swasta ada demi  memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, dalam penyiaran swasta, rating sangat berpengaruh dan menjadi salah satu ukuran tertinggi, sehingga yang dilayani adalah kelompok masyarakat yang secara ekonomi terpenuhi atau potensial. Sebaliknya, lembaga penyiaran publik harus melayani berbagai kelompok masyarakat , utamanya kelompok minoritas. Ketiga, model usaha yang menjamin kesetaraan bagi semua dan menghalangi terjadi monopoli dan oligopoli. Kriteria ketiga ini akan dilihat dari bagaimana pemisahan atau kerja sama dilakukan antara lembaga penyelenggara penyiaran dan penyelenggara multipleksing.

Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pada undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002 diberi peran penting dalam pembangunan infrastruktur penyiaran di Indonesia. Pasal 7 ayat 2 UU no. 32 tahun 2002 menyatakan bahwa “KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran”. Meskipun penyiaran telah berubah menjadi digital, ia tetap penyiaran sehingga KPI semestinya tetap harus diberi peran dalam proses tersebut. KPI mempunyai tugas dan kewajiban sebagai berikut :
  1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia.
  2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran.
  3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil merata dan seimbang.
  4. Menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan sanggahan serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran dan menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Tidak hanya fungsi KPI dalam penataan infrastruktur yang tidak diakomodasi sedikitpun dalam Permen, tapi juga kewenangan Kementerian Kominfo teramat besar dalam mengatur penyiaran digital di Indonesia. KPI sekali dihapuskan' dalam permen ini. Hal ini dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam pemerolehan izin LPPPM. Pasal 10 yang berbicara mengenai Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM). Pada ayat (1), disebutkan bahwa dalam melaksanakan penyelenggaraan penyiaran multipleksing, LPPPM harus memperoleh penetapan dari Menteri.
Pada pasal 5 ayat (1), LPPPM dilaksanakan oleh lembaga penyiaran publik TVR dan lembaga penyiaran swasta yang berarti bahwa hanya lembaga penyiaran swasta yang sudah mempunyai izin siaran yang berhak mengikuti tender, sedangkan lembaga lainnya tidak. Permen ini hanya akan meneguhkan status quo dan tidak akan memperbaiki karut-marut penyiaran di Indonesia. Sedangkan posisi TV Publik dan Komunitas, pada sistem demokrasi, lembaga yang disiarkan publik dan komunitas lolos penting.  Pasal 11 dikemukakan bahwa Menteri menyetujui Lembaga Penyiaran Publik TVRI sebagai yang berlaku nasional tanpa melalui seleksi dengan menggunakan satu (1) saluran frekuensi radio di wilayah setia layanan.  Pasal ini memang memberikan hak istimewa untuk TVRI karena otomatis menjadi LPPPM. Namun, artikel ini sekaligus memarginalkan lembaga penyiaran publik dan meneguhkan dominasi swasta dalam penyiaran digital di Indonesia.  Ini karena dari enam kanal yang tersedia, lima kanal untuk swasta, sementara lembaga penyiaran publik hanya diizinkan satu jatah kanal. Itu artinya hanya membahas di antara 17 persen, kurang dari 20%. Di sini, tampak bahwa penyiaran digital free to air di Indonesia akan didominasi oleh lembaga penyiaran swasta.  Maka pelipat gandaan saluran siaran digitalisasi hanya akar yang dikuasai swasta-induk Jakarta-dalam dunia penyiaran Indonesia, dan tidak mengubah apa pun yang sudah terjadi saat ini. Hingga saat ini, terdapat sekitar 1.178 stasiun radio sekitar 775 di radio komersial yang menjadi anggota Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia PRSSNI (Media Scene, 2011).  Sisanya adalah stasiun radio komersial non-PRSSNI, radio publik lokal, dan radio komunitas lainnya. Kemudian, ada sekitar 77 stasiun RRI. Untuk televisi komersial, ada sekitar 400 lembaga penyiaran. Sebanyak 218 diijinkan stasiun televisi nasional atau jaringan yang dikuasai oleh lima perusahaan (Komisi Penyiaran Indonesia, 2012). Kemudian, ada TVRI dengan 27 stasiun televisi di seluruh Indonesia.  
Pengaturan LPPPS dan LPPPM: Pro Status Quo, lembaga penyiaran publik (baik lokal maupun nasional) dan komunitas, mereka harus bekerja sama dengan lembaga penyiaran publik yang diberi hak izin penyelenggaraan multipleksing (Pasal 4 ayat (2),  mereka harus bekerja sama dengan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan multipleksing (Pasal 4 ayat (3). Di sini, muncul karena multipleksing adalah lembaga penyiaran yang sudah ada. Hal ini dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) yang disiarkan oleh Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Penyiaran Multipleksing adalah Lembaga Penyiaran Publik TVRI dan Lembaga  Penyiaran Swasta Untuk Lembaga Penyiaran Swasta, LPSPM, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat tvdigital. kominfo.go.id), pemerintah akan meminta jumlah multipleksing yang dapat diberikan kepada LPPPS yang masih satu lagi dengan pemilik LPPPM.
Permen versus UU Penyiaran dan Telekomunikasi, dimana peraturan menteri ini terkait banyak hal yang bertentangan dengan undang-undang.  Pertama, dalam Undang-Undang Penyiaran hanya membahas empat pihak lembaga penyiaran, yaitu lembaga penyiaran swasta (LPS), lembaga penyiaran publik (LPP), lembaga penyiaran mendorong (LPB), dan lembaga penyiaran masyarakat (LPK).  Namun, Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011 tersebut membuat kategori baru menjadi LPPPM dan LPPPS. Jelas ini bermasalah dari sisi legalitas hukumnya. Kedua, varian lembaga penyiaran baru dalam peraturan menteri ini berimplikasi pada proses pemberian izin bagi lembaga penyiaran.  Peraturan menteri tersebut telah menetapkan LPPPM cukup dengan penetapan dari Menteri. Padahal, dalam Undang-Undang Penyiaran, pelaksanaan penyiaran dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah dalam suatu forum rapat bersama. Ketiga, Permen No. 22 membantah KPI sebagai lembaga independen yang menerbitkan siaran Pelanggaran-dalam undang-undang yang dilakukan Permen yang terkait dengan digitalisasi penyiaran tidak dilakukan studio yang dilakukan dan tidak transparan. Permen itu sendiri dapat terlihat digitalisasi hanya sebatas persoalan teknologi.
Kemudian, jika dilihat dari undang-undang telekomunikasi, diselesaikan dalam konteks persyaratan LPPPM yang pada bagian sebelumnya telah berhasil menciptakan barrier untuk masuk.  Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa penyelenggaraan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan telekomunikasi persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian- undangan yang dimaksudkan yaitu:
1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
2.  Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
3. Badan usaha swasta atau operasi.

B. PETA PERSOALAN DI SEPUTAR ISU GLOBALISASI
  1. Karakter dan Kesiapan Sosial-Budaya Masyarakat
  • Tv Digital dan Kesiapan Masyarakat
Sebagai teknologi yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia, rencana migrasi teknologi dari televisi analog menjadi televisi digital dimaksudkan untuk memunculkan beberapa pertimbangan yang patut diperhatikan, antara lain adalah perlunya memotret kesiapan sosial masyarakat dan sejauh mana pemahamannya atas kehadiran digitalisasi penyiaran, khususnya media televisi yang memberikan kemudahan sekaligus ketidakpastian masa depan migrasi tv analog ke digital.
Digitalisasi adalah proses di mana semua bentuk informasi baik angka, gambar, suara, data, atau gerak dikodekan ke dalam bentuk bit yang memungkinkan manipulasi dan transformasi data. Teknologi digital mampu menggabung, mengonversi, dan menyajikan informasi dalam berbagai macam bentuk. Apapun isi yang ditampilkan, bit dapat dieksplorasi sekaligus dimanipulasi, termasuk cropping informasi asli dengan pengurangan maupun penambahan.
  • Kesenjangan Sosial dan Implikasi Digitalisasi
Kelompok kecil dan pihak yang tidak memiliki kapasitas, baik modal, teknologi, dan jaringan, seperti tv komunitas dan tv lokal akan terasing karena ia tidak memiliki atau hanya mendapatkan sedikit keuntungan dari industri digital tersebut. Multikulturalisme yang menjadi karakter dasar masyarakat Indonesia tidak mendapatkan tempat, tetapi sebaliknya, digitalisasi televisi akan memberikan “karpet merah” bagi pemilik modal yang kuat. Tv digital lebih menjadi media representasi dari ideologi dan kepentingan kelas elit (dieksploitasi). Masyarakat hanya sebagai penonton pasif yang hanya menyisakan kesadaran palsu.
  • Implikasi Berlipatnya Saluran
Terbatasnya alokasi frekuensi yang tersedia bagi Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) merupakan salah satu alasan pendorong diluncurkannya migrasi tv analog ke tv digital. Dengan terselenggaranya tv digital, dalam satu kanal dapat memuat 6 kali lebih banyak program siaran. Namun berlipatnya saluran yang tersedia dan jenis siaran tv yang begitu banyak dan beragam akan membawa sejumlah implikasi bagi masyarakat. Hal ini menyebabkan “tsunami” data informasi bagi khalayak yang menyebabkan bencana data, yaitu semacam kekacauan dalam proses pemahaman, penyimpulan, hingga ekspresinya. Data informasi dan peristiwa akan berjalan dengan cepat tanpa teramati, terpahami, dan terpergunakan secara akurat.
  1. Model Usaha Penyiaran Digital
Ada 2 model bisnis siaran digital yang mampu mengembangkan sistem penyiaran digital yang demokratis, baik secara politik maupun ekonomi. Pertama, model bisnis lembaga penyiaran publik dan komunitas. Dalam hal ini, TVRI menjadi multiplekser yang menyediakan frekuensi untuk televisi komunitas dan televisi pendidikan yang lebih berorientasi kepada publik. Di sisi lain, TVRI juga harus memberikan kesempatan dan menjadi satu-satunya lembaga siaran yang diperkenankan siaran nasional. Iklan komersial bisa saja menjadi sumber pendapatan utama, namun lebih penting, iklan tersebut tidak bertentangan dengan misi lembaga penyiaran tersebut. Kedua, model bisnis lembaga penyiaran swasta. Untuk lembaga penyiaran swasta, perlu dibedakan antara penyelenggara multipleksing dan penyelenggara penyiaran demi menghindari conflict of interest dan kecenderungan monopoli. Frekuensi adalah ranah publik dan tidak bisa dimiliki oleh perorangan atau badan hukum. Frekuensi hanya dapat digunakan selama diizinkan, oleh karena itu regulasi harus menjamin seluruh pihak dapat mengakses frekuensi tersebut. Namun selama implementasinya, siaran analog dikuasai oleh lembaga siaran Jakarta yang tergabung dalam ATVSI. ATVSI adalah Asosiasi Televisi Swasta Indonesia yang didirikan pada 4 Agustus 2000. Pendirinya antara lain SCTV, RCTI, TPI, Indosiar, ANTV. Sekarang ini, ATVSI beranggotakan 10 anggota, yaitu SCTV, RCTI, TPI, Indosiar, ANTV, Trans TV, Global TV, Metro TV, Trans 7, TV One. Penguasaan tersebut terjadi dalam skala nasional sehingga menghalangi atau bahkan mematikan lembaga penyiaran swasta lokal. Hal ini mengakibatkan terjadinya dominasi dan penguasaan frekuensi pemilik tv Jakarta terhadap frekuensi lokal yang bertentangan dengan undang-undang otonomi daerah.


PERLINDUNGAN PUBLIK
A.    Hak Publik dalam Penyiaran
Pada prinsipnya penyiaran seharusnya mengedepankan pelayanan terhadap publik dan bukan menguntungkan segelintir kepentingan pihak-pihak tertentu. Layanan publik seharusnya menjadi ruang publik untuk terlibat terhadap pemerintah sesuai dengan prinsip public domain dan public good. Selain itu media juga  menjadi perantara antara masyarakat dengan pemerintah. Namun, penyiaran dinilai sebagai suatu kekuatan baru dalam berpolitik dan justru melawan masyarakat sipil. Kepemilikan dari suatu media menjadi alasan utama adanya permasalahan tersebut. Hal itu dapat dikatakan menjadi suatu masalah karena pada akhirnya justru merugikan, seperti mendorong opini publik kearah pemilik media tersebut. Secara tidak langsung, dasar penyiaran pada media adalah pengendalian dan kuasa oleh elit politik dan kekuatan kapital. Terpaan pesan yang diberikan media tidak netral secara terus menerus justru membuat publik tidak kritis. Pada hakekatnya, sudah menjadi kewajiban bagi media penyiaran untuk mengoptimalkan hak yang dimiliki untuk terwujudnya demokrasi seperti kebebasan berekspresi, negosiasi publik, dan kemakmuran publik.
B.     Regulasi Penyiaran
Regulasi media yang menggunakan public domain sangat berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain. Di negara demokrasi, jika suatu media menggunakan public domain, maka regulasinya sangat ketat. Hal tersebut karena ketika seseorang atau suatu badan telah diberi frekuensi, maka sebenarnya ia telah diberi hak “monopoli” oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu dan berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu undang-undang di bidang penyiaran. Terdapat 3 alasan mengapa regulasi media yang menggunakan public domain berbeda dengan yang tidak menggunakan public domain. Pertama karena tentunya media tersebut menggunakan public domain. Frekuensi yang digunakan adalah milik publik yang dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran yang harus digunakan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bukan untuk kepentingan individu atau kelompok. Kedua, public domain mengandung prinsip scarcity. Scarcity theory menegaskan bahwa frekuensi yang berasal dari spektrum gelombang radio itu adalah ranah publik yang terbatas. Permintaan frekuensi jauh lebih banyak dari yang tersedia. Meskipun dapat diperbanyak, tapi tetaplah terbatas. Itulah sebabnya izin frekuensi untuk pemyiaran mempunyai masa waktu yang terbatas, yaitu 10 atau 15 tahun meskipun dapat diperpanjang. Ketiga, sifatnya yang persavif (pervasive presence theory). Pervasive presence theory menjelaskan bahwa program siaran media elektronik memasuki ruang pribadi, meluas dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga tanpa diundang. Misalnya ketika seseorang membaca majalah, maka kontrol aras apa yang dibaca dan di mana membacanya akan sangat bergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang pervasif, muatan isi media tidak bisa dikontrol oleh siapapun. Oleh sebab itu, diperlukan adanya regulasi terhadap media yang menggunakan public domain.
PENGALAMAN KEBIJAKAN DIGITALISASI DI NEGARA LAIN
Kebijakan Umum Digital Terrestrial Television (DDTV) di Eropa
Pendekatan mengenai pemberian izin untuk penyiaran digital yang diterapkan di Eropa memiliki perbedaan. Pertama, pendekatan yang memisahkan secara jelas antara iziin isi dan alokasi frekuensi multiplez seperti yang dilakukan oleh Inggris. Kedua, pendekatan yang tidak memisahkan antara izin isi dan alokasi frekuensi multiplex dan diterapkan oleh Prancis. Pada negara Italia dan Spanyol, multiplex diberikan secara individual ke broadcaster. Untuk keterangan lebih detil mengenai DDTV di Eropa, berikut akan diuraikan beberapa pengaturan di empat negara demokrasi Eropa, yaitu Inggris dan Prancis.
1.      Kebijakan dan Implementasi Digital Terrestrial Television (DDTV) di Inggris
Inggris mulai mengoperasikan DDTTV pada bulan November 1998.  Penerapan kebijakan ini dikaitkan dengan isu pemberian pelayanan penyiaran yang lebih baik kepada masyarakat menyangkut kualitas audio-visual, variasi program, dan jasa pelayanan multi-platform.
a.    Kebijakan switch off dan Pengoperasian Simulcast
Switch off dimulai secara bertahap dari tahun 2006-2012. Inggris telah menetapkan akan menerapkan switch off secara menyeluruh hanya jika 95% rumah tangga telah dapat mengakses siaran digital. Hal tersebut karena kondisi wilayah yang berbeda terutama dalam hal kesiapan teknis, logistik dan perencanaan komersial, penetapan deadline.
b.   Orientasi Kebijakan
Pengaturan ini memilik tujuan untuk memberikan jaminan keadilan dan kualitas pelayanan bagi masyarakat dan pelaku bisnis dan juga menjaga demokrasi dan pluralisme. Untuk menghindari adanya monopoli dalam bisnis penyiaran, negara ini secara tegas memisahkan antara izin usaha untuk produksi program penyiaran dan izin usaha penyedia jasa saluran distribusi program.
c.    Regulator Multiplex
Ofcom memiliki tanggung jawab dalam pemberian izin multiplex terutama pada tahap-tahap awal digitalisasi penyiaran diterapkan. Tugas dan tanggung jawab Ofcom diatur dalam the communication Act 2003, meliputi: memastikan penggunaan secara optimal spektrum elektromagnetik, memastikan bahwa berbagai pelayanan komunikasi elektronik-termasuk pelayanan data kecepatan tinggi di seluruh Inggris, memastikan berbagai layanan televisi dan radio berkualitas tinggi dan memiliki daya tarik yang luas bagi masyarakat, menjaga kemajemukan dalam penyediaan jasa penyiaran, menerapkan perlindungan yang memadai untuk pemirsa terhadap materi dianggap berbahaya, menerapkan perlindungan yang memadai untuk pemirsa terhadap ketidakadilan atau pelanggaran privasi.
d.   Jumlah multiplex dan pengelola (operator) multiplex
Inggris memiliki enam multiplex yang tersedia, tiga diantaranya merupakan public service multiplex dan tiga commercial multiplexes. Pengelola multiplex atau disebut juga operator multiplex untuk public services multiplexes ditunjuk oleh pemerintah, sementara operator untuk commercial multiplexes dipilih melalui sistem tender.
e.    Kriteria Seleksi bagi Pengelola Multiplex
Dalam memberikan hak pengelolaan multiplex. Ofcom melakukan penilaian terkait; coverage are yang mampu dijangkau, kecepatan pelayanan, kemampuan untuk memberikan pelayanan program yang memenuhi variasi selera dan minat, visibilitas perencanaan untuk menjaga kompetisi yang adil dan efektif terutama terkait dengan penyedia program dan pelayanan jasa tambahan.
f.    Izin jangka waktu Pengelolaan Multiplex
Pemberian izin pengelolaan multiplex berlaku 12 tahun dan dapat diperbaharui melalui mekanisme pengajuan proposal.
2.      Kebijakan dan Implementasi Digital Terrestrial Television (DDTV) di Perancis
a.    Kebijakan Switch Off dan Pelayanan Simulcast
Perancis menargetkan melakukan switch off terhadap analog sistem pada tahun 2010. Perancis memberlakukan pelayanan Simulcast, yaitu broadcaster diizinkan untuk melakukan siaran dengan dua sistem analog dan digital (DDTV) dalam masa transisi perubahan ke digital.
b.   Orientasi Kebijakan
Garis besar kebijakan penyiaran digital memuat sejumlah ketentuan; memberikan “saluran tambahan” agar broadcaster yang melakukan siaran analog dapat melakukan siaran digital, private channel diperbolehkan untuk mengontrol maksimal 5 saluran, perusahaan di luar Uni-Eropa tidak dapat memiliki saham lebih dari 20% dalam layanan DDTV nasional, regulator penyiaran memiliki kewenangan untuk penambahan saluran free to air  dan saluran berbayar.
c.    Regulator Multiplex
Conseil Superieur de I’Audiovisuel (CSA) merupakan lembaga independen yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan kualitas dan keberagaman program dalam penyiaran, pengembangan produksi televisi nasional, menciptakan dan mempertahankan serta mempromosikan kebudayaan Perancis melalui sistem penyiaran digital.                                                                                                                                               




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ragam Perspektif Ilmu Politik Tentang Kebijakan

Tokoh - tokoh dalam Perspektif dalam Ilmu Komunikasi : 1. Karl Marx (1818-1883) : Negara ialah alat oleh kapitalis untuk mengeksploitasi kaum buruh. Karl Marx berharap negara tidak bersifat netral yang mengarah ke kelas golongan bawah. Seperti negara China, dimana negara tersebut tidak diperbolehkan berpihak pada pada kelompok yang dominan. 2. John Locke (1632-1704) : Pada pasalnya negara memiliki kewajiban untuk membela serta melindungi setiap hak yang dimiliki oleh rakyatnya, karena setiap kekuasan dan kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah maupun raja semuanya berasal dari masyarakat sendiri. Selain itu, beberapa negara besar seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika Serikat memiliki pandangan yang menganut teori itu. Pola pikir Locke menumbuhkan terbentuknya Negara sekularistik atau paham dimana yang memisahkan masalah agama dan negara. Proses Pembuatan Kebijakan Komunikasi oleh Pemerintah : 1. Identifikasi : Mengangkat permasalahan atau isu yang terjadi di kalangan m

Kebijakan Publik

A. KEBIJAKAN PUBLIK Apa yang dimaksud dengan "Kebijakan Publik"? Kebijakan (policy) adalah an authoritative decision. Decision made by the one who hold the authority, formal or informal. Publik adalah sekelompok orang yang terkait dengan suatu isu tertentu. Publik sendiri bukanlah umum, rakyat, masyarakat atau sekedar stakeholders, tetapi pubik sendiri adalah a sphere where people become citizen, a space where citzens interact, where state and society exist. Secara sederhana "Kebijakan Publik" adalah keputusan yang dibuat oleh Negara untuk merealisasikan tujuan Negara, serta stategi untuk bisa mengantar masyarakat pada masa awal untuk bisa memasuki masa transisi. Definisi Kebijakan Publik menurut beberpa tokoh ahli : 1. Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefinisikan bahwa kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan berbaga tujuan, nilai dan praktik tertentu ( a projected program of goals, values and practice). 2. James Ande

Pers Indonesia

Negara dan Masyarakat ; Netralisasi, Integralisasi, Otonomisasi, Dominasi, Alienasi Hingga Instrumentalisasi John Locke, mengemukakan pandangannya tentang negara dan masyarakat, terutama untuk menentang pemikiran seseorang "filosof istana" Inggris, yaitu bernama Robert Filmer tahun 1588-1653, ang mendukung dan memberikan adanya legitimasi intelektual bagi absolutisme kekuasaan raja. Locke berpendapat bahwa eksistensi kekuasaan dan kedaulatan raja atau negara tercipta justru karena hasil pemberian atau pelimpahan kekuasaan dan kedaulatan yang dilimpahkan oleh masyarakat kepada negara, supaya dapat dicabut kembali bila ternyata negara tidak bisa berbuat dan berkedaulatan sesuai dengan aspirasi dan kehendak para warganya. Eksistensi lebih merupakan kehendak warganya daripada kehendak diri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa Locke mengandaikan negara sebagai institusi yang netral fdari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang bermacam-macam dan berbeda serta netral bagi kepentin